Senin, 27 Oktober 2014

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
            Periode pascapartum ialah masa enam minggu sejak bayi lahir sampai organ – organ reproduksi kembali ke keadaan normal sebelum hamil. Periode ini kadang – kadang disebut puerpurium atau trimester keempat kehamilan. Perubahan fisiologis yang terjadi sangat jelas , walaupun dianggap normal , perawat harus memanfaatkan pengetahuannya tentang anatomi dan fisiologi ibu pada periode pemulihan , karakteristik fisik dan perilaku bayi baru lahir , dan respons keluarga terhadap kelahiran seorang anak . Bab ini membahas perubahan fisiologis wanita setelah melahirkan.

B. TUJUAN PENULISAN
            Makalah ini dibuat dengan tujuan :
1.   Memenuhi tugas dari mata kuliah Asuhan Nifas
2.   Menjelaskan tentang perubahan – perubahan fisiologis  yang terjadi pada masa nifas.

C. RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimanakah perubahan pada sistem reproduksi?
2.      Bagaimanakah perubahan sistem pencernaan?
3.      Bagaimanakah perubahan sistem perkemihan?
4.      Bagaimanakah perubahan sistem muskuloskeletal?
5.      Bagaimanakah perubahan sistem endokrin?
6.      Bagaimanakah perubahan tanda-tanda vital?
7.      Bagaimanakah perubahan sistem kardiovaskular?
8.      Bagaimanakah perubahan sistem hemotologi?

BAB II
TINJAUAN TEORI

PERUBAHAN FISIOLOGIS MASA NIFAS

A. Perubahan Sistem Reproduksi
Alat – alat genetalia baik interna maupun eksterna kembali seperti semula seperti sebelum hamil disebut Involusi. Bidan dapat membantu ibu untuk mengatasi dan memahami perubahan seperti :

1.      Involusi uterus
Atau pengerutan uterus merupakan suatu proses dimana uterus kembali ke kondisi sebelum hamil. Prosesnya adalah:
Ø  Iskemia miometrium : disebabkan oleh kontraksi dan retraksi yang terus menerus dari uterus setelah pengeluaran plasenta sehingga membuat uterus menjadi relatif anemi dan menyebabkan serat otot atrofi.
Ø  Atrofi jaringan : terjadi sebagai reaksi penghentian hormon estrogen saat pelepasan plasenta.
Ø  Autolysis : proses penghancuran diri sendiri yang terjadi di dalam otot uterus. Enzim proteolitik akan memendekkan jaringan otot yang telah mengendur hingga panjangnya 10x panjang sebelum hamil yang terjadi selama kehamilan. Hal ini disebabkan karena penurunan hormon estrogen dan progesteron.
Ø  Efek oksitosin : oksitosin menyebabkan terjadinya kontraksi dan retrasi otot uterus sehingga akan menekan pembuluh darah yang mengakibatkan berkurangnya suplai darah ke uterus. Proses ini membantu untuk mengurangi situs atau tempat implantasi plasenta serta mengurangi pendarahan.

                        Proses kembalinya uterus ke keadaan sebelum hamil setelah melahirkan disebut involusi. Proses ini dimulai segera setelah plasenta keluar akibat kontraksi otot-otot polos uterus.  Pada akhir tahap ketiga persalinan, uterus berada di garis tengah, kira-kira 2 cm di bawah umbilikus dengan bagian fundus bersandar pada promontorium sakralis. Pada saat ini besar uterus kira-kira sama dengan besar uterus sewaktu usia kehamilan 1 minggu (kira-kira sebesar grapefruit (jeruk asam) dan beratnya kira-kira 1000 g. Dalam waktu 12 jam, tinggi fundus uteri mencapai 1 cm di atas tali umbilikus. Dalam beberapa hari kemudian, perubahan involusi berlangsung dengan cepat. Fundus turun kira-kira 1 sampai 2 cm setiap 24 jam. Pada hari pascapartum keenam fundus normal akan berada di pertengahan antara umbilikus dan simfisis pubis. Uterus tidak bisa dipalpasi pada abdomen pada hari ke-9 pascapartum.

 Perubahan Pada Pembuluh Darah Uterus
     Kehamilan yang sukses membutuhkan peningkatan aliran darah uterus yang cukup besar. Untuk menyuplainya, arteri dan vena di dalam uterus, terutama plasenta, menjadi luar biasa membesar, begitu juga pembuluh darah ke, dan dari uterus. Di dalam uterus, pembentukan pembuluh – pembuluh darah baru juga menyebabkan peningkatan aliran darah yang bermakna. Setelah pelahiran, kepiler pembuluh darah ekstra uterin berkurang sampai mencapai atau paling tidak mendekati keadaan sebelum hamil.
     Pada  masa nifas, di dalam uterus pembuluh – pembuluh darah mengalami obliterasi akibat perubahan hialin, dan pembuluh – pembuluh yang lebih kecil menggantikannya. Resorpsi residu hialin dilakukan melalui suatu proses yang menyerupai proses pada ovarium setelah ovulasi dan pembentukan korpus luteum . Namun , sisa – sisa dalam jumlah kecil dapat bertahan selama bertahun – tahun.

Perubahan Pada Serviks dan Segmen Bawah Uterus
     Tepi luar serviks, yang berhubungan dengan os eksternum, biasanya mengalami laserasi terutama di bagian lateral. Ostium serviks berkontraksi perlahan, dan beberapa hari setelah bersalin ostium serviks hanya dapat ditembus oleh dua jari. Pada  akhir minggu pertama, ostium tersebut telah menyempit. Karena ostium menyempit, serviks menebal dan anal kembali terbentuk. Meskipun involusi telah selesai, os eksternum tidak dapat sepenuhnya kembali ke keadaan seperti sebelum hamil. Os ini tetap agak melebar, dan depresi bilateral pada lokasi laserasi menetap sebagai perubahan yang permanen dan menjadi ciri khas serviks para. Harus diingat juga bahwa epitel serviks menjalani pembentukan kembali dalam jumlah yang cukup banyak sebagai akibat pelahiran bayi. Contohnya , Ahdoot dan rekan ( 1998 ) menemukan bahwa sekitar 50 % wanita dengan sel skuamosa intraepithelial tingkat tinggi mengalami regresi akibat persalinan pervaginam.
     Segmen bawah uterus yang mengalami penipisan cukup bermakna akan berkontraksi dan tertarik kembali, tapi tidak sekuat pada korpus uteri. Dalam waktu beberapa minggu, segmen bawah telah mengalami perubahan dari sebuah struktur yang tampak jelas dan cukup besar untuk menampung hampir seluruh kepala janin, menjadi isthmus uteri yang hampir tak terlihat dan terletak di antara korpus uteri diatasnya dan os internum serviks di bawahnya.
Ukuran uterus pada masa nifas akan mengecil, perubahan normalnya adalah:
Involusi uteri
TFU
Berat uterus
Diameter uterus
Plasenta lahir
Setinggi pusat
1000 gr
12,5 cm
7 hari
Pertengahan pusat dan simpisis
500 gr
7,5 cm
14 hari
Tidak teraba
350 dr
5 cm
6 minggu
Normal
60 gr
2,5 cm

Subinvolusi uterus
                        Istilah ini menggambarkan suatu keadaan menetapnya atau terjadinya retardasi involusi , proses yang normalnya menyebabkan uterus nifas ke bentuk semula. Proses ini disertai pemanjangan masa pengeluaran lokhia dan peradangan uterus yang berlebihan atau irregular dan terkadang juga disertai perdarahan hebat. Pada pemeriksaan bimanual , uterus teraba lebih besar dan lebih lunak dibandingkan normal untuk periode nifas tertentu. Penyebab subinvolusi yang telah diakui antara lain retensi potongan plasenta dan infeksi panggul. Karena hampir semua kasus sub involusi disebabkan oleh penyebab local , keadaan ini biasanya dapat diatasi dengan diagnosis dan penatalaksanaan dini. Pemberian ergonovin (Ergotrate) atau metilergonovin (Methergine) 0,2 mg setiap 3  atau 4 jam selama 24 jam sampai 48 jam direkomendasikan oleh beberapa ahli , namun efektivitasnya dipertanyakan . Di lain pihak, metritis berespon baik terhadap terapi antibiotic oral. Hampir sepertiga kasus infeksi uterus post partum awitan lambat disebabkan Chlamydia trachomatis, sehingga pengobatan dengan tetrasiklin tampaknya sudah tepat. 25 kasus perdarahan antara hari ke – 7 sampai 40 hari postpartum akibat arteri uteroplasental yang tidak berinvolusi. Arteri – arteri abnormal ini ditandai oleh tidak adanya lapisan endotel dan pembuluhnya yang terisi thrombus. Trofoblas periaurikular juga tampak pada dinding pembuluh – pembuluh ini dan para peneliti tersebut mengajukan dalil bahwa subinvolusi mungkin menggambarkan interaksi aberan antara sel –sel uterus dengan trofoblast , setidaknya berdasarkan hasil pengamatan terhadap pembuluh – pembuluh plasenta tersebut.

2.      Involusi tempat plasenta
                        Uterus pada bekas implantasi plasenta merupakan luka yang kasar dan menonjol ke dalam kavum uteri. Segera setela plasenta lahir, dengan cepat luka mengecil. Pada akhir minggu ke-2 hanya sebesar 3-4 cm dan pada akhir nifas 1-2 cm. penyembuhan luka bekas plasenta khas sekali.
                        Pada permulaan nifas bekas plasenta mengandung banyak pembuluh darah besar yang tersumbat oleh thrombus. Luka bekas plasenta tidak meninggalkan parut, hal ini disebabkan karena diikuti pertumbuhan endometrium baru di bawah permukaan luka.
                        Regenerasi endometrium terjadi di tempat implantasi plasenta selama sekitar 6 minggu. Pertumbuhan kelenjar endomentrium ini berlangsung di dalam decidua basalis. Pertumbuhan kelenjar ini mengikis pembuluh darah yang membeku pada tempat implantasi plasenta hingga terkelupas dan tidak dipakai lagi pada pembuangan lochea.

3.      Perubahan ligamen
                        Setelah bayi lahir, ligamen dan diafragma pelvis fasia yang meregang sewaktu kehamilan dan saat melahirkan kembali seperti sedia kala. Perubahan ligamen yang dapat terjadi pasca melahirkan antara lain:
·         Ligamentum rotundum menjadi kendor dan mengakibatkan letak uterus menjadi retrofleksi.
·         Ligamen, fasia, jaringan penunjang alat genetalia menjadi agak kendor.

4.      Perubahan serviks
                        Segera setelah melahirkan, seviks menjadi lembek, kendor, terkulai dan berbentuk seperti corong. Hal ini disebabkan olehkorpus uteri berkontraksi sedangkan seviks tidak berkontraksi sehingga perbatasan antara korpus dan serviks uteri berbentuk cincin. Warna serviks merah kehitaman karena penuh pembuluh darah. Segera setelah bayi dilahirkan, tangan pemeriksa masih dapat dimasukkan 2-3 jari dan setelah 1 minggu hanya 1 jari saja yang dapat masuk. Oleh karena hiperpalpasi dan retraksi serviks, robekan serviks dapat sembuh. Namun demikian selesai involusi, ostium eksternum lebih besar, tetap ada retak – retak dan robekan beberapa pinggirannya.
                        Serviks menjadi lunak segera setelah ibu melahirkan. Delapan belas jam pasca partum , serviks  memendek dan konsistensinya menjadi lebih padat dan kembali ke bentuk semula . Serviks setinggi segmen bawah uterus tetap edematosa , tipis dan rapuh selama beberapa hari setelah ibu melahirkan. Ektoserviks ( bagian serviks yang menonjol ke vagina ) terlihat memar dan ada sedikit laserasi kecil – kondisi yang optimal untuk perkembangan infeksi. Muara serviks , yang berdilatasi 10 cm seewaktu melahirkan , menutup secara bertahap. 2 jari mungkin masih dapat dimasukkan kedalam muara serviks pada hari ke 4 sampai ke-6 pasca partum, tetapi hanya tangkai kuret terkecil yang dapat dimasukkan pada akhir minggu ke – 2. Muara serviks eksterna tidak akan berbentuk lingkaran seperti sebelum melahirkan , tetapi terlihat memanjang seperti suatu celah , sering disebut seperti mulut ikan .Laktasi menunda produksi estrogen yang mempengaruhi mucus dan mukosa.

5.      Lochea
                        Akibat involusi uteri, lapisan luar desidua yang mengelilingi situs plasenta akan menjadi nekrotik. Desidua yang mati akan keluar bersama dengan sisa cairan. Percampuran antara darah dan desidua inilah yang dinamakan lochea.
                        Lochea adalah ekskresi cairan rahim selama masa nifas dan mempunyai reaksi basa yang membuat organisme berkembang lebih cepat dari pada kondisi asam yang ada pada vagina normal.
                        Lochea memiliki bau yang amis meskipun tidak terlalu menyengat dan volumenya berbeda – beda pada setiap wanita. Lochea mengalami perubahan karena proses involusi. Perbedaan masing – masing lochea:
Lochea
Waktu
Warna
Ciri – ciri
Rubra
1-3 hari
Merah kehitaman
Terdiri dari sel desidua, verniks caseosa. Rambut lanugo, sisa mekonium dan sisa darah.
Sanguilenta
3-7 hari
Putih bercampur merah
Sisa darah bercampur lendir
Serosa
7-14 hari
Kekuningan / kecoklatan
Lebih sedikit darah dan lebih banyak serum, juga terdiri dari leukosit dan robekan laserasi plasenta.
Alba
>14 hari
Putih
Mengandung leukosit, selaput lendir serviks dan serabut jaringan yang mati.
                        Umumnya jumlah lochea lebih sedikit bila wanita postpartum dalam posisi berbaring daripada berdiri. Hal ini terjadi akibat pembuangan bersatu di vagina bagian atas saat wanita dalam posisi berbaring dan kemudian akan mengalir keluar saat berdiri. Total jumlah rata – rata pengeluaran lochea sekitar 240–270 ml.

6.      Perubahan Vulva, Vagina, Dan Perineum
                        Selama proses persalinan, vulva dan vagina mengalami penekanan serta peregangan, setelah beberapa hari persalinan, kedua organ ini kembali dalam keadaan kendor. Rugae timbul kembali pada minggu ketiga. Hymen tampak sebagai tonjolan kecil dan dalam proses pembentukan berubah menjadi karankulae mitiformis yang khas bagi wanita multipara. 
                        Ukuran vagina akan selalu lebih besar dibandingkan keadaan sebelum persalinan pertama. Perubahan pada perineum pasca melahirkan terjadi pada saat perinium mengalami robekan. Robekan jalan lahir dapat terjadi secara spontan ataupun dilakukan episiotomi dengan indikasi tertentu. Meskipun demikian, latihan otot perineum dapat mengembalikan tonus tersebut dan dapat mengencangkan vagina hingga tingkat tertentu. Hal ini dapat dilakukan pada akhir puerperium dengan latihan harian.    
                        Estrogen pasca partum yang menurun berperan dalam penipisan mukosa vagina dan hilangnya rugae. Vagina yang semula sangat teregang akan kembali secara bertahap ke ukuran sebelum hamil , 6 sampai 8 minggu setelah bayi lahir. Rugae akan kembali terlihat pada sekitar minggu ke empat, walaupun tidak akan semenonjol pada wanita nulipara. Pada umumnya rugae akan memipih secara permanen. Mukosa tetap etrofik pada wanita menyusui sekurang – kurangnya sampai menstruasi dimulai kembali . Penebalan mukosa vagina terjadi seiring pemulihan fungsi ovarium. Kekurangan estrogen menyebabkan penurunan jumlah pelumas vagina dan penipisan mukosa vagina . kekeringan local dan rasa tidak nyaman saat koitus ( dispereunia ) menetap sampai fungsi ovarium kembali normal dan menstruasi dimulai lagi. Biasanya wanita dianjurkan menggunakan pelumas larut saat melakukan hubungan seksual untuk mengurangi nyeri.
                        Pada awalnya , introitus mengalami eritematosa dan edematosa , terutama pada daerah episiotomi atau jahitan laserasi . Perbaikan yang cermat , pencegahan , atau pengobatan dini hematoma dan hygiene yang baik selama dua minggu pertama setelah melahirkan biasanya membuat introitus dengan mudah dibedakan dengan introitus pada wanita nulipara.
                        Pada umumnya episiotomy hanya mungkin dilakukan bila wanita berbaring miring dengan bokong diangkat atau ditempatkan pada posisi litotomi. Penerangan yang baik diperlukan supaya episiotomy dapat terlihat jelas. Proses penyembuhan luka episiotomy sama dengan luka operasi lain. Tanda – tanda infeki ( nyeri , panas , merah , bengkak atau rabas ) atau tepian insisi tidak saling mendekat bisa terjadi. Penyembuhan harus berlangsung dalam 2 sampai 3 minggu.
                        Hemoroid ( varises anus ) umumnya terlihat . Wanita sering mengalami gejala terkait , seperti rasa gatal , tidak nyaman , dan perdarahan berwarna merah terang pada waktu defecator. Ukuran hemoroid biasanya mengecil beberapa minggu setelah bayi lahir.

7. Kontraksi
                        Intensitas kontraksi uterus meningkat secara bermakna segera setelah lahir, diduga terjadi sebagai respon terhadap penurunan volume intrauterin yang terutama akibat kompresi  pembuluh darah intramiometrium, bukan oleh agregasi trombosit dan pembentukan bekuan. Hormon ang dilepas dari kelenjar hipofisis memperkuat dan mengatur kontraksi uterus, mengompresi pembuluh darah, dan membantu hemostatis. Selama 1 sampai 2 jam pertama pascapartum intensitas kontraksi uterus bisa berkurang dan menjadi tidak teratur. Karena penting sekali untuk mempertahankan kontraksi uterus selama masa ini, biasanya suntikan oksitosin (pitosin) secara intravena atau intramuskular diberikan segera stelah plasenta lahir. Ibu yang merencanakan menyusui bayinya, dianjurkan membiarkan bayinya di payudara segera setelah lahir karena isapan bayi pada payudara merangsang pelepasan oksitosin.


B. Perubahan Sistem Pencernaan
            Selama kehamilan dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya:
v  Tingginya kadar progesteron yang dapat mengganggu keseimbangan cairan tubuh.
v  Meningkatkan kolesterol darah.
v  Melambatkan kontraksi otot-otot polos.
       Pasca melahirkan, kadar progesteron juga mulai menurun. Namun demikian, faal usus memerlukan waktu 3-4 hari untuk kembali normal. Beberapa hal yang berkaitan dengan perubahan pada sistem pencernaan antara lain:
1. Nafsu makan
               Pasca melahirkan, biasanya ibu merasa lapar sehingga diperbolehkan untuk mengkonsumsi makanan. Pemulihan nafsu makan diperlukan waktu 3-4 hari sebelum faal usus kembali normal. Meskipun kadar progesteron menurun setelah melahirkan, asupan makanan juga mengalami penurunan selama 1-2 hari.

2. Motilitas
               Secara khas, penurunan tonus dan motilitas otot traktus cerna menetap selama waktu yang singkat setelah bayi lahir. Kelebihan analgesa dan anastesia bisa memperlambat pengembalian tonus dan motilitas ke keadaan normal.

3. Pengosongan usus
               Pasca melahirkan ibu sering mengalami konstipasi. Hal ini disebabkan tonus otot usus menurun selama proses persalinan dan awal masa postpartum, diare sebelum persalinan, oedema sebelum melahirkan, kurang makan, dehidrasi, hemoroid ataupun laserasi jalan lahir. Sistem pencernaan pada masa nifas membutuhkan waktu untuk kembali normal. Beberapa cara agar ibu dapat buang air besar kembali teratur:
·         Pemberian makanan mengandung serat.
·         Pemberian cairan yang cukup.
·         Pengetahuan tentang pola eliminasi pasca melahirkan.
·         Pengetahuan tentang perawatan luka jalan lahir.
·         Bila usaha diatas tidak berhasil, dapat dilakukan pemberian huknah atau obat lain.



C. Perubahan Sistem Perkemihan
       Pada masa hamil, perubahan hormonal yaitu kadar steroid tinggi yang berperan meningkatkan fungsi ginjal. Begitu sebaliknya, pasca melahirkan kadar steroid menurun sehingga menyebabkan penurunan fungsi ginjal. Fungsi ginjal kembali normal dalam waktu 1 bulan setelah wanita melahirkan. Urin dalam jumlah yang besar akan dihasilkan dalam waktu 12-36 jam sesudah melahirkan. Hal yang berkaitan dengan fungsi sistem perkemihan antara lain :
1.    Hemostatis internal
               Tubuh terdiri dari air dan unsur yang larut didalamnya, dan 70% dari cairan tubuh terletak di dalam sel-sel  yang disebut intraselular.  Cairan ekstraselular terbagi dalam plasma darah, dan langsung diberikan intuk sel-sel yang disebut cairan interstial.
               Beberapa hal yang berkaitan dengan cairan tubuh antara lain oedema dan dehidrasi. Oedema adalah tertimbunnya cairan dalam jaringan akibat gangguan keseimbangan cairan dalam tubuh. Dehidrasi adalah kekurangan cairan atau volume air yang terjadi pada tubuh karena pengeluaran berlebihan dan tidak diganti.

2.    Keseimbangan asam basa tubuh
               Keasaman dalam tubuh disebut PH. Batas normal PH cairan tubuh adalah 7,35-7,40. Bila PH >7,4 disebut alkalosis, dan jika PH <7,35 disebut asidosis.

3.    Pengeluaran Sisa Metabolisme, Racun, Dan Zat Toksin Ginjal
               Zat toksin ginjal mengekskresi hasil akhir dari metabolisme protein yang mengandung nitrogen terutama urea, asam urat, dan kreatinin. Ibu post partum dianjurkan segera buang air kecil agar tidak mengganggu proses involusi uteri dan ibu merasa nyaman. Namun demikian, pasca melahirkan ibu merasa sulit buang air kecil. Hal yang menyebabkan kesulitan buang air kecil pada ibu post partum antara lain:
·         Adanya oedema trigonium yang menimbulkan obstruksi sehingga terjadi retensi urin.
·         Diaforesis yaitu mekanisme tubuh untuk mengurangi cairan yang teretansi dalam tubuh, terjadi selama 2 hari setelah melahirkan.
·         Depresi dari sfingter uretra oleh krena penekanan kepala janin dan spasme oleh iritasi muskulus sfingter ani selama persalinan, sehingga menyebabkan miksi.

               Setelah plasenta dilahirkan, kadar hormon estrogen akan menurun, hilangnya peningkatan tekanan vena pada tingkat bawah dan hilangnya peningkatan volume darah akibat kehamilan, hal ini merupakan mekanisme tubuh untuk mengatasi kelebihan cairan. Keadaan ini disebut dengan diuresis pasca partum. Ureter yang berdilatasi akan kembali normal dalam tempo 6 minggu.

               Kehilangan cairan melalui peningkatan jumlah urin menyebabkan penurunan berat badan sekitar 2,5 kg selama masa pasca partum. Pengeluaran kelebihan cairan yang tertimbum selama hamil kadang-kadang disebut kebalikan  metabolisme air pada masa hamil.

               Bila wanita pasca persalinan tidak dapat berkemih dalam waktu 4 jam pasca persalinan mungkin ada masalah dan sebaiknya segera dipasang kateter selama 24 jam. Bila kemudian keluhan tak dapat berkemih dalam waktu 4 jam, lakukan kateterisasi dan bila jumlah residu >200 ml maka ada kemungkinan gangguan proses urinasinya. Maka kateter tetap terpasang dan dibuka 4 jam kemudian. Bila volume urin <200 ml kateter dibuka dan pasien diharapkan dapat berkemih seperti biasa.

D. Perubahan Sistem Muskuloskeletal
       Perubahan sistem muskleton terjadi pada saat umur kehamilan semakin bertambah. Adaptasi muskuloskeletal ini mencakup: peningkatan BB, bergesernya pusat akibat pembesaran rahim, relaksasi dan mobilisasi. Namun demikian, pada saat post partum, sistem muskuloskeletal akan berangsur pulih kembali. Ambulasi dini dilakukan segera setelah melahirkan, untuk membantu mencegah komplikasi dan mempercepat involusi uteri.

1. Adaptasi Sistem Muskuloskeletal Pada Masa Nifas
a)      Dinding perut dan peritoneum
                        Dinding perut akan longgar pasca persalinan. Keadaan ini kana pulih kembali dalam 6 minggu. Pada wanita yang asthenis terjadi diastasis dari oto–otot rectus abdominis sehingga sebagian dari dinding perut di garis tengah hanya terdiri dari peritoneum, fasia tipis dan kulit.

b)      Kulit abdomen
                        Selama masa kehamilan, kulit abdomen akan melebar, melonggar dan mengendur hingga berbulan-bulan. Otot-otot dari dinding abdomen dapat kembali normal dalam beberapa minggu pasca melahirkan dengan latihan post natal.

c)      Striae
                        Striae adalah suatu perubahan warna seperti jaringan parut pada dinding abdomen . striae pada dinding abdomen tidak dapat menghilang sempurna melainkan membentuk garis lurus yang samar. Tingkat diastasis muskulus rektus abdominis pada ibu post partum dapat dikaji melalui keadaan umum, aktivitas, paritas, dan jarak kehamilan, sehingga dapat membantu menentukan lama pengembalian tonus otot menjadi normal.
d)     Perubahan ligamen
                        Setelah janin lahir, ligamen, diafragma pelvis dan fasia yang merenggang sewaktu kehamilan dan partus berangsur menciut kembali seperti sedia kala. Tidak jarang ligamentum rotundum menjadi kendor yang mengakibatkan letak uterus menjadi retrofleksi.

e)      Simpisis pubis
                        Pemisahan simpisis pubis jarang terjadi. Namun demikian hal ini dapat menyebabkan morbiditas maternal. Gejala dari pemisahan simpisis pubis antara lain: nyeri tekan pada ppubis disertai peningkatan nyeri saat bergerak di tempat tidur ataupun waktu berjalan. Pemisahan simpisis dapat dipalpasi. Gejala ini dapat menghilang setelah beberapa minggu atau bulan pasca melahirkan, bahkan ada yang menetap.

2. Gejala Sistem Muskuloskeletal Yang Timbul Pada Masa Nifas
a)      Nyeri punggung bawah
                        Nyeri ini merupakan gejala pasca partum jangka panjang yang sering terjadi. Hal ini disebabkan adanya ketegangan postural pada sistem muskuloskeletal akibat posisi saat persalinan.
                        Penanganannya : selama kehamilan, wanita yang mengeluh nyeri punggung sebaiknya dirujuk pada fisioterapi intuk mendapatkan perawatan. Anjuran perawatan punggung, posisi istirahat dan aktivitas sehari-hari penting diberikan. Pereda nyeri elektroterapiutik dikontraindikasikan selama kehamilan, namun mandi dengan air hangat dapat memberikan rasa nyaman pada pasien.

b)      Sakit kepala dan nyeri leher
                        Pada minggu pertama dan 3 bulan setelah melahirkan, sakit kepala dan migrain bisa terjadi. Gejala ini dapat mempengaruhi aktivitas dan ketidaknyamanan pada ibu post partum. Sakit kepala dan nyeri leher yang jangka panjang dapat timbul akibat setelah pemberian anastesi umum.

c)      Nyeri pelvis posterior
                        Nyeri pelvis posterior ditunjukkan untuk rasa nyeri dan disfungsi area sendi sakroiliaka. Gejala ini timbul sebelum nyeri punggung bawah dan disfungsi sipmisis pubis yang ditandai nyeri diatas sendi sakroiliaka pada bagian otot penumpu berat badan serta timbul pada saat membalikkan tubuh di tempat tidur. Nyeri ini dapat menyebar ke bokong dan paha posterior.
                        Penanganannya : pemakaian ikat (sabuk) sakroiliaka penyokong dapat membantu untuk mengistirahatkan pelvis. Mengatur posisi yang nyaman saat istirahat maupun bekerja, serta mengurangi aktivitas dan posisi yang dapat memacu rasa nyeri.

d)     Disfungsi simpisi pubis
                        Merupakan istilah yang menggambarkan gangguan fungsi sendi simpisis pubis dan nyeri yang dirasakan di sekitar area sendi. Fungsi sendi simpisis pubis adalah menyempurnakan cincin tulang pelvis dan memindahkan berat badan melalui pada posisi tegak. Bila sendi ini tidak menjalankan fungsi semestinya, akan terdapat fungsi / stabilitas pelvis yang abnormal., diperburuk dengan terjadinya perubahan mekanis yang dapat mempengaruhi gaya gaya berjalan suatu gerakan lembut pada sendi simpisis pubis untuk menumpu berat badan dan disertai rasa nyeri yang hebat.
                        Penanganan : tirah baring selama mungkin, pemberian pereda nyeri, perawatan ibu dan bayi yang lengkap, rujuk ke ahli fisioterapi untuk latihan abdomen yang tepat, latihan meningkatkan sirkulasi, mobilisasi secara bertahap, pemberian bantuan yang sesuai.

e)      Diastasis rekti
                        Diastasis rekti adalah pemisahan otot rektus abdominis lebih dari 2,5 cm pada tepat setinggi umbilikus sebagai akibat pengaruh hormon terhadap linea alba serta akibat peregangan mekanis dinding abdomen. Kasus ini sering terjadi pada multi paritas, bayi besar, poli hidramnion, kelemahan otot abodmen, dan dan postur yang salah. Selain itu  juga disebabkan gangguan kolagen yang lebih ke arah keturunan, sehingga ibu dan anak mengalami diastasis.
                        Penanganan : melakukan pemeriksaan rektus untuk mengkaji lebar celah antara otot rektus untuk mengkaji lebar celah antara otot rektus, memasang penyangga tubigrip dari area xifoid sternum sampai ke bawah panggul. Latihan transversus dan pelvis dasar sesering mungkin pada semua posisi, kecuali posisi telungkup lutut, memastikan tidak melakukan latihan sit-up, mengatur kegiatan sehari-hari, menindaklanjuti pengkajian oleh ahli fisioterapi selama diperlukan.

f)       Osteoporosis akibat kehamilan
                        Osteoporosis timbul pada trimester ketiga atau pasca natal. Gejala ini ditandai dengan nyeri, fraktur tulang belakang dn panggul, tidak dapat berjalan, berkurangnya tinggi badan, dan postur tubuh yang buruk.

g)      Disfungsi rongga perut
                   Disfungsi rongga panggul meliputi:
·         Inkontinensia urin, merupakan keluhan rembesan urin yang tidak disadari. Terapinya, selama masa antenatal ibu diberi pendidikan dan dianjurkan untuk mempraktikan latihan otot dasar panggul dan transversus sesering mungkin. Bagi ibu yang menderita penyakit ini disarankan untuk dirujuk ke ahli fisioterapi yang akan mengkaji keefektifan otot dasar panggul dan memberi saran tentang program retraining yang meliputi biofeedback dan stimulasi.
·         Inkontinensia alvi, disebabkan oleh robeknya atau merenggangnya sfingter anal atau kerusakan yang nyata pada suplai dasar panggul selama persalinan. Penanganannya, rujuk ke ahli fisioterapi untuk mendapatkan perawatan khusus.
·         Prolaps, menyebabkan peregangan dan kerusakan pada fasia dan persyarafan pelvis. Prolaps uterus adalah penurunan uterus, sistokel adalah prolaps kandung kemih dalam vagina, sedangkan rektokel adalah prolaps rektum kedalam vagina. Gejala yang dirasakan wanita adalah merasakan ada sesuatu yang turun kebawah saat berdiri, nyeri punggung dan sensasi tarikan yang kuat. Penanganan prolaps ringan dapat diatasi dengan latihan dasar panggul.

E. Perubahan Sistem Endokrin
       Selama proses kehamilan dan persalinan terdapat perubahan sistem endokrin. Hormon-hormon yang berperan pada proses tersebut adalah:
1.    Homon plasenta
               Pengeluaran plasenta menyebabkan penurunan hormon yang diproduksi oleh plasenta. Hormon plasenta menurun dengan cepat pasca persalinan. Penurunan ini menyebabkan kadar gula darah menurun pada masa nifas. HCG menurun dengan cepat dan menetap sampai 10% dalam 3 jam hingga hari ke-7 post pasrtum dan sebagai onset pemenuhan mamae pada hari ke-3 post partum.

2.    Hormon pituitary
               Hormon pituitary antara lain : prolaktin, FSH, dan LH. Hormon prolaktin darah meningkat dengan cepat, pada wanita yang tidak meyusuimenurun dalam waktu 2 minggu. Hormon prolaktin berperan dalam pembesaran payudara untuk merangsang produksi susu. FSH dan LH meningkat pada fase konsentrasi fosikuler pada minggu ke-3 dan LH tetap rendah hingga ovulasi terjadi.

3.    Hipotalamik pituitary ovarium
               Hipotalamik pituitary ovarium akan mempengaruhi lamanya mendapatkanmenstruasi pada wanita yang menyusui maupun yang tidak menyusui. Pada wanita menyusui mendapatkan menstruasi pada 6 minggu pasca melahirkan berkisar 16% dan 45% setelah 12 minggu pasca melahirkan. Sedangkan pada wanita yang tidak menyusui akan mendapatkan menstruasi berkisar 40% setelah 6 minggu pasca persalinan dan 90% setelah 24 minggu.

4.    Hormon oksitosin
               Hormon ini disekresikan dari kelenjar otak bagian belakang bekerja terhadap otot uterus dan jaringan payudara. Selama tahap ketiga persalinan, hormon oksitosin berperan dalam pelepasan plasenta dan mempertahankan kontraksi sehingga mencegah perdarahan. Isapan bayi dapat merangsang produksi ASI dan sekresi oksitosin sehingga dapat membantu involusi uteri.

5.    Hormon estrogen dan progesteron
               Volume darah normal selama kehamilan akan meningkat. Hormon estrogen yang tinggi memperbesar hormon anti diuretik yang dapat meningkatkan volume darah. Sedangkan hormon progesteron mempengaruhi otot halus yang mengurangi perangsangan dan peningkatan pembuluh darah. Hal ini mempengaruhi saluran kemih, ginjal, usus, dinding vena, dasar panggul, perineum, vulva dan vagina.

F. Perubahan Tanda-Tanda Vital
       Pada masa nifas, TTV yang harus dikaji antara lain:
1.    Suhu badan
               Suhu badan wanita inpartu tidak lebih dari 37.2oC. pasca melahirkan, suhu tubuh dapat naik ±0,5oC dari keadaan normal. Kenaikan suhu badan ini akibat dari kerj keras sewaktu melahirkan, kehilangan cairan aupun keleahan. Kurang lebih pada hari ke-4 post partum suhu badan akan naik lagi akibat adanya pembentukan ASI kemungkinan payudara membengkak, maupun kemungkinan infeksi pada endometrium, mastitis, traktus genetalis ataupun sistem lain. Apabila kenaikan suhu diatas 38oC, waspada terhadap infeksi post partum.

2.    Nadi
               Denyut nadi normal pada orang dewasa 60-80x/menit. Pasca melahirkan denyut nadi dapat menjadi bradikardi ataupun lebih cepat. Denyut nadi yang lebih dari 100x/menit harus diwaspadai kemungkinan infeksi atau perdarahan post partum.

3.    Tekanan darah
               Tekanan darah normal adalah sistolik 90-120 mmHg dan diastolik 60-80 mmHg. Pasca melahirkan pada kasusu normal, tekanan darah biasanya tidak berubah. Perubahan tekanan darah menjadi lebih rendah pasca melahirkan dapat diakibatkan oleh perdarahan. Sedangkan tekanan darah tinggi pada masa post partum merupakan tanda terjadinya pre-eklamsia post partum.

4.    Pernapasan
               Frekuensi pernapasan normal orang dewasa 16-24x/menit. Pada ibu post partum umumnya pernapasan lambat atau normal. Hal ini dikarenakan ibu dalam keadaan pemulihan atau dalam kondisi istirahat. Keadaan pernapasan selalu berhubungan dengan keadaan suhu dan denyut nadi. Bila suhu nadi tidak normal, pernapasan juga akan mengikutinya, kecuali apabila ada gangguan khusus pada saluran pernapasan. Bila pernapasan pada masa post partum  menjadi lebih cepat, kemungkinan ada tanda-tanda syok.

G. Perubahan Sistem Kardiovaskular
       Volume darah yang normal yang diperlukan plasenta dan pembuluh darah uterin meningkat selama kehamilan. Diuresis terjadi akibat adanya penurunan hormon estrogen yang dengan cepat mengurangi volume plasma menjadi normal kembali. Meskipun kadar estrogen menurun selama nifas, namun kadarnya masih tetap tinggi daripada normal. Plasma darah tidak banyak mengandung cairan sehingga daya koagulasi meningkat.
      
       Aliran ini terjadi dalam 2-4 jam setelah kelahiran bayi. Selama masa ini ibu mengeluarkan banyak urin. Hilangnya progesteron membantu mengurangi retensi cairan yang melekat dengan meningkatnya vaskuler pada jaringan tersebut selama kehamilan bersama-sama dengan trauma selama persalinan.

       Kehilangan darah pada persalinan pervaginam sekitar 300-400 cc, sedangkan kehilangan darah dengan persalinan seksio menjadi 2x lipat. Perubahan yang terjadi terdiri dari volume darah dan hemokonsentrasi. Pada persalinan per vaginam, hemokonsentrasi akan naik dan pada persalinan seksio, hemokonstentrasi cenderung stabil dan kembali normal setelah 4-6 minggu.

                   Pasca melahirkan, shunt akan hilang dengan tiba-tiba. Volume darah ibu relatif bertambah. Keadaan ini akan menimbulkan dekompensasi kordis pada penderita vitum cordia. Hal ini dapat diatasi dengan mekanisme kompensasi dengan timbulnya hemokonsentrasi sehingga volume darah kembali seperti semula. Pada umumnya hal ini terjadi pada hari ke 3-5 post partum.

H. Perubahan Sistem Hemotologi
       Pada minggu-minggu terakhir kehamilan, kadar fibrinogen dan plasma serta faktor-faktor pembekuan darah meningkat. Pada hari pertama post partum, kadar fibrinogen dan plasma akan sedikit menurun tetapi darah lebih mengental dengan peningkatan viskositas sehingga meningkatkan faktor pembekuan darah.

       Leukosit hanya adalah meningkatnya jumlah sel darah puth sebanyak 15.000 selama persalinan. Jumlah leukosit akan tetap tinggi selama beberapa hari pertama masa post partum. Jumlah sel darah putih akan meningkat selama beberapa hari masa pertama masa nifas. Jumlah sel darah putih akan bisa naik lagi 25.000-30.000 tanpa adanya kondisi patologis jika wanita tersebut mengalami persalinan lama.
       Pada awal masa nifas, jumlah hemoglobin, hematokrit dan eritrosit sangat bervariasi. Hal ini disebabkan oleh volume darah, volume plasenta dan tingkat volume darah yang berubah-ubah. Tingkatan ini dipengaruhi oleh status gizi dan hidarasi dari wanita tersebut. Jika hematokrit pada hari kedua lebuh rendah dari titik 2% atau lebih tinggi daripada saat memasuki persalinan awal, makan pasien dianggap telah kehilangan darah yang cukup banyak. Titik 2% kurang lebih sama dengan kehilangan 500 ml darah.

       Penurunan volume dan peningkatan sel darah pada kehamilan diasosiasikan dengan peningkatan hematokrit dan hemoglobin pada hari ke 3-7 post pasrtum dan akan normal dalam 4-5 minggu post partum. Jumlah kehilangan darah selama masa persalinan 200-500 ml, minggu pertama post partum sekitar 500-800 ml dan selama sisa masa nifas berkisar 500 ml. 

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
       Jadi, dapat disimpulkan bahwa setiap ibu nifas mengalami beberapa perubahan fisologis. Perubahan tersebut diantaranya perubahan sistem reproduksi, perubahan sistem pencernaan, perubahan sistem perkemihan, perubahan sistem muskuloskeletal, perubahan sistem endokrin, perubahan tanda-tanda vital, perubahan sistem kardiovaskular, dan perubahan sistem hemotologi.


 DAFTAR PUSTAKA



Nugroho, Taufan. dkk. (2014). Asuhan Kebidanan 3 Nifas, Nuha Medika, Yogyakarta