BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Periode pascapartum ialah masa enam minggu sejak bayi lahir sampai organ
– organ reproduksi kembali ke keadaan normal sebelum hamil. Periode ini kadang
– kadang disebut puerpurium atau trimester keempat kehamilan. Perubahan
fisiologis yang terjadi sangat jelas , walaupun dianggap normal , perawat harus
memanfaatkan pengetahuannya tentang anatomi dan fisiologi ibu pada periode
pemulihan , karakteristik fisik dan perilaku bayi baru lahir , dan respons
keluarga terhadap kelahiran seorang anak . Bab ini membahas perubahan
fisiologis wanita setelah melahirkan.
B. TUJUAN
PENULISAN
Makalah ini dibuat dengan tujuan :
1. Memenuhi
tugas dari mata kuliah Asuhan Nifas
2. Menjelaskan
tentang perubahan – perubahan fisiologis
yang terjadi pada masa nifas.
C. RUMUSAN
MASALAH
1.
Bagaimanakah
perubahan pada sistem reproduksi?
2.
Bagaimanakah perubahan
sistem pencernaan?
3.
Bagaimanakah perubahan
sistem perkemihan?
4.
Bagaimanakah perubahan
sistem muskuloskeletal?
5.
Bagaimanakah perubahan
sistem endokrin?
6.
Bagaimanakah perubahan
tanda-tanda vital?
7.
Bagaimanakah perubahan
sistem kardiovaskular?
8.
Bagaimanakah perubahan
sistem hemotologi?
BAB II
TINJAUAN TEORI
PERUBAHAN FISIOLOGIS MASA NIFAS
A. Perubahan
Sistem Reproduksi
Alat – alat genetalia baik interna maupun eksterna kembali
seperti semula seperti sebelum hamil disebut Involusi. Bidan dapat membantu ibu untuk mengatasi dan memahami
perubahan seperti :
1.
Involusi uterus
Atau
pengerutan uterus merupakan suatu proses dimana uterus kembali ke kondisi
sebelum hamil. Prosesnya adalah:
Ø Iskemia miometrium : disebabkan oleh kontraksi dan
retraksi yang terus menerus dari uterus setelah pengeluaran plasenta sehingga
membuat uterus menjadi relatif anemi dan menyebabkan serat otot atrofi.
Ø Atrofi jaringan : terjadi sebagai reaksi penghentian
hormon estrogen saat pelepasan plasenta.
Ø Autolysis : proses penghancuran diri sendiri yang
terjadi di dalam otot uterus. Enzim proteolitik akan memendekkan jaringan otot
yang telah mengendur hingga panjangnya 10x panjang sebelum hamil yang terjadi
selama kehamilan. Hal ini disebabkan karena penurunan hormon estrogen dan
progesteron.
Ø Efek oksitosin : oksitosin menyebabkan terjadinya
kontraksi dan retrasi otot uterus sehingga akan menekan pembuluh darah yang
mengakibatkan berkurangnya suplai darah ke uterus. Proses ini membantu untuk
mengurangi situs atau tempat implantasi plasenta serta mengurangi pendarahan.
Proses
kembalinya uterus ke keadaan sebelum hamil setelah melahirkan disebut involusi.
Proses ini dimulai segera setelah plasenta keluar akibat kontraksi otot-otot
polos uterus. Pada akhir tahap ketiga
persalinan, uterus berada di garis tengah, kira-kira 2 cm di bawah umbilikus
dengan bagian fundus bersandar pada promontorium sakralis. Pada saat ini besar
uterus kira-kira sama dengan besar uterus sewaktu usia kehamilan 1 minggu
(kira-kira sebesar grapefruit (jeruk asam) dan beratnya kira-kira 1000 g. Dalam waktu 12 jam, tinggi fundus
uteri mencapai 1 cm di atas tali umbilikus. Dalam beberapa hari kemudian,
perubahan involusi berlangsung dengan cepat. Fundus turun kira-kira 1 sampai 2
cm setiap 24 jam. Pada hari pascapartum keenam fundus normal akan berada di
pertengahan antara umbilikus dan simfisis pubis. Uterus tidak bisa dipalpasi
pada abdomen pada hari ke-9 pascapartum.
Perubahan Pada Pembuluh Darah Uterus
Kehamilan yang sukses membutuhkan peningkatan aliran darah
uterus yang cukup besar. Untuk menyuplainya, arteri dan vena di dalam uterus,
terutama plasenta, menjadi luar biasa membesar, begitu juga pembuluh darah ke,
dan dari uterus. Di dalam uterus, pembentukan pembuluh – pembuluh darah baru
juga menyebabkan peningkatan aliran darah yang bermakna. Setelah pelahiran,
kepiler pembuluh darah ekstra uterin berkurang sampai mencapai atau paling
tidak mendekati keadaan sebelum hamil.
Pada masa nifas, di dalam
uterus pembuluh – pembuluh darah mengalami obliterasi akibat perubahan hialin,
dan pembuluh – pembuluh yang lebih kecil menggantikannya. Resorpsi residu
hialin dilakukan melalui suatu proses yang menyerupai proses pada ovarium
setelah ovulasi dan pembentukan korpus luteum . Namun , sisa – sisa dalam
jumlah kecil dapat bertahan selama bertahun – tahun.
Perubahan
Pada Serviks dan Segmen Bawah Uterus
Tepi luar serviks, yang berhubungan dengan os eksternum,
biasanya mengalami laserasi terutama di bagian lateral. Ostium serviks
berkontraksi perlahan, dan beberapa hari setelah bersalin ostium serviks hanya
dapat ditembus oleh dua jari. Pada akhir
minggu pertama, ostium tersebut telah menyempit. Karena ostium menyempit,
serviks menebal dan anal kembali terbentuk. Meskipun involusi telah selesai, os
eksternum tidak dapat sepenuhnya kembali ke keadaan seperti sebelum hamil. Os
ini tetap agak melebar, dan depresi bilateral pada lokasi laserasi menetap
sebagai perubahan yang permanen dan menjadi ciri khas serviks para. Harus
diingat juga bahwa epitel serviks menjalani pembentukan kembali dalam jumlah
yang cukup banyak sebagai akibat pelahiran bayi. Contohnya , Ahdoot dan rekan (
1998 ) menemukan bahwa sekitar 50 % wanita dengan sel skuamosa intraepithelial
tingkat tinggi mengalami regresi akibat persalinan pervaginam.
Segmen bawah uterus yang mengalami penipisan cukup bermakna akan
berkontraksi dan tertarik kembali, tapi tidak sekuat pada korpus uteri. Dalam
waktu beberapa minggu, segmen bawah telah mengalami perubahan dari sebuah
struktur yang tampak jelas dan cukup besar untuk menampung hampir seluruh
kepala janin, menjadi isthmus uteri yang hampir tak terlihat dan terletak di
antara korpus uteri diatasnya dan os internum serviks di bawahnya.
Ukuran
uterus pada masa nifas akan mengecil, perubahan normalnya adalah:
Involusi
uteri
|
TFU
|
Berat
uterus
|
Diameter
uterus
|
Plasenta
lahir
|
Setinggi
pusat
|
1000
gr
|
12,5
cm
|
7
hari
|
Pertengahan
pusat dan simpisis
|
500
gr
|
7,5
cm
|
14
hari
|
Tidak
teraba
|
350
dr
|
5
cm
|
6
minggu
|
Normal
|
60
gr
|
2,5
cm
|
Subinvolusi
uterus
Istilah
ini menggambarkan suatu keadaan menetapnya atau terjadinya retardasi involusi ,
proses yang normalnya menyebabkan uterus nifas ke bentuk semula. Proses ini
disertai pemanjangan masa pengeluaran lokhia dan peradangan uterus yang
berlebihan atau irregular dan terkadang juga disertai perdarahan hebat. Pada
pemeriksaan bimanual , uterus teraba lebih besar dan lebih lunak dibandingkan
normal untuk periode nifas tertentu. Penyebab subinvolusi yang telah diakui
antara lain retensi potongan plasenta dan infeksi panggul. Karena hampir semua
kasus sub involusi disebabkan oleh penyebab local , keadaan ini biasanya dapat
diatasi dengan diagnosis dan penatalaksanaan dini. Pemberian ergonovin
(Ergotrate) atau metilergonovin (Methergine) 0,2 mg setiap 3 atau 4 jam selama 24 jam sampai 48 jam
direkomendasikan oleh beberapa ahli , namun efektivitasnya dipertanyakan . Di
lain pihak, metritis berespon baik terhadap terapi antibiotic oral. Hampir
sepertiga kasus infeksi uterus post partum awitan lambat disebabkan Chlamydia
trachomatis, sehingga pengobatan dengan tetrasiklin tampaknya sudah tepat. 25
kasus perdarahan antara hari ke – 7 sampai 40 hari postpartum akibat arteri
uteroplasental yang tidak berinvolusi. Arteri – arteri abnormal ini ditandai
oleh tidak adanya lapisan endotel dan pembuluhnya yang terisi thrombus.
Trofoblas periaurikular juga tampak pada dinding pembuluh – pembuluh ini dan
para peneliti tersebut mengajukan dalil bahwa subinvolusi mungkin menggambarkan
interaksi aberan antara sel –sel uterus dengan trofoblast , setidaknya
berdasarkan hasil pengamatan terhadap pembuluh – pembuluh plasenta tersebut.
2.
Involusi tempat
plasenta
Uterus pada bekas
implantasi plasenta merupakan luka yang kasar dan menonjol ke dalam kavum
uteri. Segera setela plasenta lahir, dengan cepat luka mengecil. Pada akhir minggu
ke-2 hanya sebesar 3-4 cm dan pada akhir nifas 1-2 cm. penyembuhan luka bekas
plasenta khas sekali.
Pada permulaan nifas
bekas plasenta mengandung banyak pembuluh darah besar yang tersumbat oleh
thrombus. Luka bekas plasenta tidak meninggalkan parut, hal ini disebabkan
karena diikuti pertumbuhan endometrium baru di bawah permukaan luka.
Regenerasi endometrium
terjadi di tempat implantasi plasenta selama sekitar 6 minggu. Pertumbuhan kelenjar
endomentrium ini berlangsung di dalam decidua
basalis. Pertumbuhan kelenjar ini mengikis pembuluh darah yang membeku pada
tempat implantasi plasenta hingga terkelupas dan tidak dipakai lagi pada
pembuangan lochea.
3.
Perubahan
ligamen
Setelah bayi lahir,
ligamen dan diafragma pelvis fasia yang meregang sewaktu kehamilan dan saat
melahirkan kembali seperti sedia kala. Perubahan ligamen yang dapat terjadi
pasca melahirkan antara lain:
·
Ligamentum
rotundum menjadi kendor dan mengakibatkan letak uterus menjadi retrofleksi.
·
Ligamen, fasia,
jaringan penunjang alat genetalia menjadi agak kendor.
4.
Perubahan
serviks
Segera setelah
melahirkan, seviks menjadi lembek, kendor, terkulai dan berbentuk seperti
corong. Hal ini disebabkan olehkorpus uteri berkontraksi sedangkan seviks tidak
berkontraksi sehingga perbatasan antara korpus dan serviks uteri berbentuk
cincin. Warna serviks merah kehitaman karena penuh pembuluh darah. Segera
setelah bayi dilahirkan, tangan pemeriksa masih dapat dimasukkan 2-3 jari dan
setelah 1 minggu hanya 1 jari saja yang dapat masuk. Oleh karena hiperpalpasi
dan retraksi serviks, robekan serviks dapat sembuh. Namun demikian selesai
involusi, ostium eksternum lebih besar, tetap ada retak – retak dan robekan
beberapa pinggirannya.
Serviks
menjadi lunak segera setelah ibu melahirkan. Delapan belas jam pasca partum ,
serviks memendek dan konsistensinya
menjadi lebih padat dan kembali ke bentuk semula . Serviks setinggi segmen
bawah uterus tetap edematosa , tipis dan rapuh selama beberapa hari setelah ibu
melahirkan. Ektoserviks ( bagian serviks yang menonjol ke vagina ) terlihat
memar dan ada sedikit laserasi kecil – kondisi yang optimal untuk perkembangan
infeksi. Muara serviks , yang berdilatasi 10 cm seewaktu melahirkan , menutup
secara bertahap. 2 jari mungkin masih dapat dimasukkan kedalam muara serviks
pada hari ke 4 sampai ke-6 pasca partum, tetapi hanya tangkai kuret terkecil
yang dapat dimasukkan pada akhir minggu ke – 2. Muara serviks eksterna tidak
akan berbentuk lingkaran seperti sebelum melahirkan , tetapi terlihat memanjang
seperti suatu celah , sering disebut seperti mulut ikan .Laktasi menunda
produksi estrogen yang mempengaruhi mucus dan mukosa.
5.
Lochea
Akibat involusi uteri, lapisan
luar desidua yang mengelilingi situs plasenta akan menjadi nekrotik. Desidua
yang mati akan keluar bersama dengan sisa cairan. Percampuran antara darah dan
desidua inilah yang dinamakan lochea.
Lochea adalah ekskresi
cairan rahim selama masa nifas dan mempunyai reaksi basa yang membuat organisme
berkembang lebih cepat dari pada kondisi asam yang ada pada vagina normal.
Lochea memiliki bau yang
amis meskipun tidak terlalu menyengat dan volumenya berbeda – beda pada setiap
wanita. Lochea mengalami perubahan karena proses involusi. Perbedaan masing –
masing lochea:
Lochea
|
Waktu
|
Warna
|
Ciri – ciri
|
Rubra
|
1-3
hari
|
Merah
kehitaman
|
Terdiri
dari sel desidua, verniks caseosa. Rambut lanugo, sisa mekonium dan sisa
darah.
|
Sanguilenta
|
3-7
hari
|
Putih
bercampur merah
|
Sisa
darah bercampur lendir
|
Serosa
|
7-14
hari
|
Kekuningan
/ kecoklatan
|
Lebih
sedikit darah dan lebih banyak serum, juga terdiri dari leukosit dan robekan
laserasi plasenta.
|
Alba
|
>14
hari
|
Putih
|
Mengandung
leukosit, selaput lendir serviks dan serabut jaringan yang mati.
|
Umumnya jumlah lochea
lebih sedikit bila wanita postpartum dalam posisi berbaring daripada berdiri.
Hal ini terjadi akibat pembuangan bersatu di vagina bagian atas saat wanita
dalam posisi berbaring dan kemudian akan mengalir keluar saat berdiri. Total
jumlah rata – rata pengeluaran lochea sekitar 240–270 ml.
6.
Perubahan Vulva,
Vagina, Dan Perineum
Selama proses
persalinan, vulva dan vagina mengalami penekanan serta peregangan, setelah
beberapa hari persalinan, kedua organ ini kembali dalam keadaan kendor. Rugae
timbul kembali pada minggu ketiga. Hymen tampak sebagai tonjolan kecil dan
dalam proses pembentukan berubah menjadi karankulae mitiformis yang khas bagi
wanita multipara.
Ukuran vagina akan
selalu lebih besar dibandingkan keadaan sebelum persalinan pertama. Perubahan
pada perineum pasca melahirkan terjadi pada saat perinium mengalami robekan.
Robekan jalan lahir dapat terjadi secara spontan ataupun dilakukan episiotomi
dengan indikasi tertentu. Meskipun demikian, latihan otot perineum dapat
mengembalikan tonus tersebut dan dapat mengencangkan vagina hingga tingkat
tertentu. Hal ini dapat dilakukan pada akhir puerperium dengan latihan harian.
Estrogen
pasca partum yang menurun berperan dalam penipisan mukosa vagina dan hilangnya
rugae. Vagina yang semula sangat teregang akan kembali secara bertahap ke
ukuran sebelum hamil , 6 sampai 8 minggu setelah bayi lahir. Rugae akan kembali
terlihat pada sekitar minggu ke empat, walaupun tidak akan semenonjol pada
wanita nulipara. Pada umumnya rugae akan memipih secara permanen. Mukosa tetap
etrofik pada wanita menyusui sekurang – kurangnya sampai menstruasi dimulai
kembali . Penebalan mukosa vagina terjadi seiring pemulihan fungsi ovarium.
Kekurangan estrogen menyebabkan penurunan jumlah pelumas vagina dan penipisan
mukosa vagina . kekeringan local dan rasa tidak nyaman saat koitus (
dispereunia ) menetap sampai fungsi ovarium kembali normal dan menstruasi
dimulai lagi. Biasanya wanita dianjurkan menggunakan pelumas larut saat
melakukan hubungan seksual untuk mengurangi nyeri.
Pada
awalnya , introitus mengalami eritematosa dan edematosa , terutama pada daerah
episiotomi atau jahitan laserasi . Perbaikan yang cermat , pencegahan , atau
pengobatan dini hematoma dan hygiene yang baik selama dua minggu pertama
setelah melahirkan biasanya membuat introitus dengan mudah dibedakan dengan
introitus pada wanita nulipara.
Pada
umumnya episiotomy hanya mungkin dilakukan bila wanita berbaring miring dengan
bokong diangkat atau ditempatkan pada posisi litotomi. Penerangan yang baik
diperlukan supaya episiotomy dapat terlihat jelas. Proses penyembuhan luka
episiotomy sama dengan luka operasi lain. Tanda – tanda infeki ( nyeri , panas
, merah , bengkak atau rabas ) atau tepian insisi tidak saling mendekat bisa
terjadi. Penyembuhan harus berlangsung dalam 2 sampai 3 minggu.
Hemoroid
( varises anus ) umumnya terlihat . Wanita sering mengalami gejala terkait ,
seperti rasa gatal , tidak nyaman , dan perdarahan berwarna merah terang pada
waktu defecator. Ukuran hemoroid biasanya mengecil beberapa minggu setelah bayi
lahir.
7. Kontraksi
Intensitas
kontraksi uterus meningkat secara bermakna segera setelah lahir, diduga terjadi
sebagai respon terhadap penurunan volume intrauterin yang terutama akibat
kompresi pembuluh darah intramiometrium,
bukan oleh agregasi trombosit dan pembentukan bekuan. Hormon ang dilepas dari
kelenjar hipofisis memperkuat dan mengatur kontraksi uterus, mengompresi
pembuluh darah, dan membantu hemostatis. Selama 1 sampai 2 jam pertama
pascapartum intensitas kontraksi uterus bisa berkurang dan menjadi tidak
teratur. Karena penting sekali untuk mempertahankan kontraksi uterus selama
masa ini, biasanya suntikan oksitosin (pitosin) secara intravena atau
intramuskular diberikan segera stelah plasenta lahir. Ibu yang merencanakan
menyusui bayinya, dianjurkan membiarkan bayinya di payudara segera setelah
lahir karena isapan bayi pada payudara merangsang pelepasan oksitosin.
B. Perubahan
Sistem Pencernaan
Selama kehamilan dipengaruhi oleh beberapa hal,
diantaranya:
v Tingginya kadar progesteron yang dapat mengganggu
keseimbangan cairan tubuh.
v Meningkatkan kolesterol darah.
v Melambatkan kontraksi otot-otot polos.
Pasca
melahirkan, kadar progesteron juga mulai menurun. Namun demikian, faal usus
memerlukan waktu 3-4 hari untuk kembali normal. Beberapa hal yang berkaitan
dengan perubahan pada sistem pencernaan antara lain:
1. Nafsu makan
Pasca
melahirkan, biasanya ibu merasa lapar sehingga diperbolehkan untuk mengkonsumsi
makanan. Pemulihan nafsu makan diperlukan waktu 3-4 hari sebelum faal usus
kembali normal. Meskipun kadar progesteron menurun setelah melahirkan, asupan
makanan juga mengalami penurunan selama 1-2 hari.
2. Motilitas
Secara
khas, penurunan tonus dan motilitas otot traktus cerna menetap selama waktu
yang singkat setelah bayi lahir. Kelebihan analgesa dan anastesia bisa
memperlambat pengembalian tonus dan motilitas ke keadaan normal.
3. Pengosongan usus
Pasca melahirkan ibu sering
mengalami konstipasi. Hal ini disebabkan tonus otot usus menurun selama proses
persalinan dan awal masa postpartum, diare sebelum persalinan, oedema sebelum
melahirkan, kurang makan, dehidrasi, hemoroid ataupun laserasi jalan lahir.
Sistem pencernaan pada masa nifas membutuhkan waktu untuk kembali normal. Beberapa
cara agar ibu dapat buang air besar kembali teratur:
·
Pemberian
makanan mengandung serat.
·
Pemberian cairan
yang cukup.
·
Pengetahuan
tentang pola eliminasi pasca melahirkan.
·
Pengetahuan tentang
perawatan luka jalan lahir.
·
Bila usaha
diatas tidak berhasil, dapat dilakukan pemberian huknah atau obat lain.
C. Perubahan
Sistem Perkemihan
Pada
masa hamil, perubahan hormonal yaitu kadar steroid tinggi yang berperan
meningkatkan fungsi ginjal. Begitu sebaliknya, pasca melahirkan kadar steroid
menurun sehingga menyebabkan penurunan fungsi ginjal. Fungsi ginjal kembali
normal dalam waktu 1 bulan setelah wanita melahirkan. Urin dalam jumlah yang
besar akan dihasilkan dalam waktu 12-36 jam sesudah melahirkan. Hal yang
berkaitan dengan fungsi sistem perkemihan antara lain :
1.
Hemostatis
internal
Tubuh terdiri dari air dan unsur
yang larut didalamnya, dan 70% dari cairan tubuh terletak di dalam sel-sel yang disebut intraselular. Cairan
ekstraselular terbagi dalam plasma darah, dan langsung diberikan intuk sel-sel
yang disebut cairan interstial.
Beberapa hal yang berkaitan
dengan cairan tubuh antara lain oedema dan dehidrasi. Oedema adalah
tertimbunnya cairan dalam jaringan akibat gangguan keseimbangan cairan dalam
tubuh. Dehidrasi adalah kekurangan cairan atau volume air yang terjadi pada
tubuh karena pengeluaran berlebihan dan tidak diganti.
2.
Keseimbangan
asam basa tubuh
Keasaman dalam tubuh disebut PH.
Batas normal PH cairan tubuh adalah 7,35-7,40. Bila PH >7,4 disebut alkalosis, dan jika PH <7,35 disebut asidosis.
3.
Pengeluaran Sisa
Metabolisme, Racun, Dan Zat Toksin Ginjal
Zat toksin ginjal mengekskresi
hasil akhir dari metabolisme protein yang mengandung nitrogen terutama urea,
asam urat, dan kreatinin. Ibu post partum dianjurkan segera buang air kecil
agar tidak mengganggu proses involusi uteri dan ibu merasa nyaman. Namun
demikian, pasca melahirkan ibu merasa sulit buang air kecil. Hal yang
menyebabkan kesulitan buang air kecil pada ibu post partum antara lain:
·
Adanya oedema
trigonium yang menimbulkan obstruksi sehingga terjadi retensi urin.
·
Diaforesis yaitu
mekanisme tubuh untuk mengurangi cairan yang teretansi dalam tubuh, terjadi
selama 2 hari setelah melahirkan.
·
Depresi dari
sfingter uretra oleh krena penekanan kepala janin dan spasme oleh iritasi
muskulus sfingter ani selama persalinan, sehingga menyebabkan miksi.
Setelah
plasenta dilahirkan, kadar hormon estrogen akan menurun, hilangnya peningkatan
tekanan vena pada tingkat bawah dan hilangnya peningkatan volume darah akibat
kehamilan, hal ini merupakan mekanisme tubuh untuk mengatasi kelebihan cairan.
Keadaan ini disebut dengan diuresis pasca
partum. Ureter yang berdilatasi akan kembali normal dalam tempo 6 minggu.
Kehilangan
cairan melalui peningkatan jumlah urin menyebabkan penurunan berat badan
sekitar 2,5 kg selama masa pasca partum. Pengeluaran kelebihan cairan yang
tertimbum selama hamil kadang-kadang disebut kebalikan metabolisme air pada masa hamil.
Bila
wanita pasca persalinan tidak dapat berkemih dalam waktu 4 jam pasca persalinan
mungkin ada masalah dan sebaiknya segera dipasang kateter selama 24 jam. Bila
kemudian keluhan tak dapat berkemih dalam waktu 4 jam, lakukan kateterisasi dan
bila jumlah residu >200 ml maka ada kemungkinan gangguan proses urinasinya.
Maka kateter tetap terpasang dan dibuka 4 jam kemudian. Bila volume urin
<200 ml kateter dibuka dan pasien diharapkan dapat berkemih seperti biasa.
D. Perubahan
Sistem Muskuloskeletal
Perubahan
sistem muskleton terjadi pada saat umur kehamilan semakin bertambah. Adaptasi
muskuloskeletal ini mencakup: peningkatan BB, bergesernya pusat akibat
pembesaran rahim, relaksasi dan mobilisasi. Namun demikian, pada saat post
partum, sistem muskuloskeletal akan berangsur pulih kembali. Ambulasi dini
dilakukan segera setelah melahirkan, untuk membantu mencegah komplikasi dan
mempercepat involusi uteri.
1. Adaptasi Sistem Muskuloskeletal Pada
Masa Nifas
a)
Dinding perut
dan peritoneum
Dinding perut akan
longgar pasca persalinan. Keadaan ini kana pulih kembali dalam 6 minggu. Pada
wanita yang asthenis terjadi diastasis dari oto–otot rectus abdominis sehingga
sebagian dari dinding perut di garis tengah hanya terdiri dari peritoneum,
fasia tipis dan kulit.
b)
Kulit abdomen
Selama masa kehamilan,
kulit abdomen akan melebar, melonggar dan mengendur hingga berbulan-bulan.
Otot-otot dari dinding abdomen dapat kembali normal dalam beberapa minggu pasca
melahirkan dengan latihan post natal.
c)
Striae
Striae adalah suatu
perubahan warna seperti jaringan parut pada dinding abdomen . striae pada
dinding abdomen tidak dapat menghilang sempurna melainkan membentuk garis lurus
yang samar. Tingkat diastasis muskulus rektus abdominis pada ibu post partum
dapat dikaji melalui keadaan umum, aktivitas, paritas, dan jarak kehamilan,
sehingga dapat membantu menentukan lama pengembalian tonus otot menjadi normal.
d)
Perubahan
ligamen
Setelah janin lahir,
ligamen, diafragma pelvis dan fasia yang merenggang sewaktu kehamilan dan
partus berangsur menciut kembali seperti sedia kala. Tidak jarang ligamentum
rotundum menjadi kendor yang mengakibatkan letak uterus menjadi retrofleksi.
e)
Simpisis pubis
Pemisahan simpisis pubis
jarang terjadi. Namun demikian hal ini dapat menyebabkan morbiditas maternal.
Gejala dari pemisahan simpisis pubis antara lain: nyeri tekan pada ppubis
disertai peningkatan nyeri saat bergerak di tempat tidur ataupun waktu berjalan.
Pemisahan simpisis dapat dipalpasi. Gejala ini dapat menghilang setelah
beberapa minggu atau bulan pasca melahirkan, bahkan ada yang menetap.
2.
Gejala Sistem Muskuloskeletal Yang Timbul Pada Masa Nifas
a)
Nyeri punggung
bawah
Nyeri ini merupakan
gejala pasca partum jangka panjang yang sering terjadi. Hal ini disebabkan
adanya ketegangan postural pada sistem muskuloskeletal akibat posisi saat
persalinan.
Penanganannya : selama
kehamilan, wanita yang mengeluh nyeri punggung sebaiknya dirujuk pada fisioterapi
intuk mendapatkan perawatan. Anjuran perawatan punggung, posisi istirahat dan
aktivitas sehari-hari penting diberikan. Pereda nyeri elektroterapiutik
dikontraindikasikan selama kehamilan, namun mandi dengan air hangat dapat
memberikan rasa nyaman pada pasien.
b)
Sakit kepala dan
nyeri leher
Pada minggu pertama dan
3 bulan setelah melahirkan, sakit kepala dan migrain bisa terjadi. Gejala ini
dapat mempengaruhi aktivitas dan ketidaknyamanan pada ibu post partum. Sakit kepala
dan nyeri leher yang jangka panjang dapat timbul akibat setelah pemberian
anastesi umum.
c)
Nyeri pelvis
posterior
Nyeri pelvis posterior
ditunjukkan untuk rasa nyeri dan disfungsi area sendi sakroiliaka. Gejala ini
timbul sebelum nyeri punggung bawah dan disfungsi sipmisis pubis yang ditandai
nyeri diatas sendi sakroiliaka pada bagian otot penumpu berat badan serta
timbul pada saat membalikkan tubuh di tempat tidur. Nyeri ini dapat menyebar ke
bokong dan paha posterior.
Penanganannya :
pemakaian ikat (sabuk) sakroiliaka penyokong dapat membantu untuk
mengistirahatkan pelvis. Mengatur posisi yang nyaman saat istirahat maupun
bekerja, serta mengurangi aktivitas dan posisi yang dapat memacu rasa nyeri.
d)
Disfungsi
simpisi pubis
Merupakan istilah yang
menggambarkan gangguan fungsi sendi simpisis pubis dan nyeri yang dirasakan di
sekitar area sendi. Fungsi sendi simpisis pubis adalah menyempurnakan cincin
tulang pelvis dan memindahkan berat badan melalui pada posisi tegak. Bila sendi
ini tidak menjalankan fungsi semestinya, akan terdapat fungsi / stabilitas
pelvis yang abnormal., diperburuk dengan terjadinya perubahan mekanis yang
dapat mempengaruhi gaya gaya berjalan suatu gerakan lembut pada sendi simpisis
pubis untuk menumpu berat badan dan disertai rasa nyeri yang hebat.
Penanganan : tirah
baring selama mungkin, pemberian pereda nyeri, perawatan ibu dan bayi yang
lengkap, rujuk ke ahli fisioterapi untuk latihan abdomen yang tepat, latihan
meningkatkan sirkulasi, mobilisasi secara bertahap, pemberian bantuan yang
sesuai.
e)
Diastasis rekti
Diastasis rekti adalah
pemisahan otot rektus abdominis lebih dari 2,5 cm pada tepat setinggi umbilikus
sebagai akibat pengaruh hormon terhadap linea alba serta akibat peregangan
mekanis dinding abdomen. Kasus ini sering terjadi pada multi paritas, bayi
besar, poli hidramnion, kelemahan otot abodmen, dan dan postur yang salah. Selain
itu juga disebabkan gangguan kolagen
yang lebih ke arah keturunan, sehingga ibu dan anak mengalami diastasis.
Penanganan : melakukan
pemeriksaan rektus untuk mengkaji lebar celah antara otot rektus untuk mengkaji
lebar celah antara otot rektus, memasang penyangga tubigrip dari area xifoid
sternum sampai ke bawah panggul. Latihan transversus dan pelvis dasar sesering
mungkin pada semua posisi, kecuali posisi telungkup lutut, memastikan tidak
melakukan latihan sit-up, mengatur kegiatan sehari-hari, menindaklanjuti pengkajian
oleh ahli fisioterapi selama diperlukan.
f)
Osteoporosis
akibat kehamilan
Osteoporosis timbul pada
trimester ketiga atau pasca natal. Gejala ini ditandai dengan nyeri, fraktur
tulang belakang dn panggul, tidak dapat berjalan, berkurangnya tinggi badan,
dan postur tubuh yang buruk.
g)
Disfungsi rongga
perut
Disfungsi rongga panggul
meliputi:
·
Inkontinensia
urin, merupakan keluhan rembesan urin yang tidak disadari. Terapinya, selama
masa antenatal ibu diberi pendidikan dan dianjurkan untuk mempraktikan latihan
otot dasar panggul dan transversus sesering mungkin. Bagi ibu yang menderita
penyakit ini disarankan untuk dirujuk ke ahli fisioterapi yang akan mengkaji
keefektifan otot dasar panggul dan memberi saran tentang program retraining
yang meliputi biofeedback dan stimulasi.
·
Inkontinensia
alvi, disebabkan oleh robeknya atau merenggangnya sfingter anal atau kerusakan
yang nyata pada suplai dasar panggul selama persalinan. Penanganannya, rujuk ke
ahli fisioterapi untuk mendapatkan perawatan khusus.
·
Prolaps,
menyebabkan peregangan dan kerusakan pada fasia dan persyarafan pelvis. Prolaps
uterus adalah penurunan uterus, sistokel adalah prolaps kandung kemih dalam
vagina, sedangkan rektokel adalah prolaps rektum kedalam vagina. Gejala yang
dirasakan wanita adalah merasakan ada sesuatu yang turun kebawah saat berdiri,
nyeri punggung dan sensasi tarikan yang kuat. Penanganan prolaps ringan dapat
diatasi dengan latihan dasar panggul.
E. Perubahan
Sistem Endokrin
Selama
proses kehamilan dan persalinan terdapat perubahan sistem endokrin.
Hormon-hormon yang berperan pada proses tersebut adalah:
1.
Homon plasenta
Pengeluaran plasenta menyebabkan
penurunan hormon yang diproduksi oleh plasenta. Hormon plasenta menurun dengan
cepat pasca persalinan. Penurunan ini menyebabkan kadar gula darah menurun pada
masa nifas. HCG menurun dengan cepat dan menetap sampai 10% dalam 3 jam hingga
hari ke-7 post pasrtum dan sebagai onset pemenuhan mamae pada hari ke-3 post
partum.
2.
Hormon pituitary
Hormon pituitary antara lain :
prolaktin, FSH, dan LH. Hormon prolaktin darah meningkat dengan cepat, pada
wanita yang tidak meyusuimenurun dalam waktu 2 minggu. Hormon prolaktin
berperan dalam pembesaran payudara untuk merangsang produksi susu. FSH dan LH
meningkat pada fase konsentrasi fosikuler pada minggu ke-3 dan LH tetap rendah
hingga ovulasi terjadi.
3.
Hipotalamik
pituitary ovarium
Hipotalamik
pituitary ovarium akan mempengaruhi lamanya mendapatkanmenstruasi pada wanita
yang menyusui maupun yang tidak menyusui. Pada wanita menyusui mendapatkan
menstruasi pada 6 minggu pasca melahirkan berkisar 16% dan 45% setelah 12
minggu pasca melahirkan. Sedangkan pada wanita yang tidak menyusui akan
mendapatkan menstruasi berkisar 40% setelah 6 minggu pasca persalinan dan 90%
setelah 24 minggu.
4.
Hormon oksitosin
Hormon ini disekresikan dari
kelenjar otak bagian belakang bekerja terhadap otot uterus dan jaringan
payudara. Selama tahap ketiga persalinan, hormon oksitosin berperan dalam
pelepasan plasenta dan mempertahankan kontraksi sehingga mencegah perdarahan.
Isapan bayi dapat merangsang produksi ASI dan sekresi oksitosin sehingga dapat
membantu involusi uteri.
5.
Hormon estrogen
dan progesteron
Volume darah normal selama
kehamilan akan meningkat. Hormon estrogen yang tinggi memperbesar hormon anti
diuretik yang dapat meningkatkan volume darah. Sedangkan hormon progesteron
mempengaruhi otot halus yang mengurangi perangsangan dan peningkatan pembuluh
darah. Hal ini mempengaruhi saluran kemih, ginjal, usus, dinding vena, dasar
panggul, perineum, vulva dan vagina.
F. Perubahan Tanda-Tanda Vital
Pada masa nifas, TTV yang harus dikaji antara lain:
1.
Suhu badan
Suhu badan wanita inpartu tidak
lebih dari 37.2oC. pasca melahirkan, suhu tubuh dapat naik ±0,5oC
dari keadaan normal. Kenaikan suhu badan ini akibat dari kerj keras sewaktu melahirkan,
kehilangan cairan aupun keleahan. Kurang lebih pada hari ke-4 post partum suhu
badan akan naik lagi akibat adanya pembentukan ASI kemungkinan payudara
membengkak, maupun kemungkinan infeksi pada endometrium, mastitis, traktus
genetalis ataupun sistem lain. Apabila kenaikan suhu diatas 38oC,
waspada terhadap infeksi post partum.
2.
Nadi
Denyut nadi normal pada orang
dewasa 60-80x/menit. Pasca melahirkan denyut nadi dapat menjadi bradikardi
ataupun lebih cepat. Denyut nadi yang lebih dari 100x/menit harus diwaspadai
kemungkinan infeksi atau perdarahan post partum.
3.
Tekanan darah
Tekanan darah normal adalah
sistolik 90-120 mmHg dan diastolik 60-80 mmHg. Pasca melahirkan pada kasusu
normal, tekanan darah biasanya tidak berubah. Perubahan tekanan darah menjadi
lebih rendah pasca melahirkan dapat diakibatkan oleh perdarahan. Sedangkan
tekanan darah tinggi pada masa post partum merupakan tanda terjadinya
pre-eklamsia post partum.
4.
Pernapasan
Frekuensi pernapasan normal orang
dewasa 16-24x/menit. Pada ibu post partum umumnya pernapasan lambat atau
normal. Hal ini dikarenakan ibu dalam keadaan pemulihan atau dalam kondisi
istirahat. Keadaan pernapasan selalu berhubungan dengan keadaan suhu dan denyut
nadi. Bila suhu nadi tidak normal, pernapasan juga akan mengikutinya, kecuali
apabila ada gangguan khusus pada saluran pernapasan. Bila pernapasan pada masa
post partum menjadi lebih cepat,
kemungkinan ada tanda-tanda syok.
G. Perubahan Sistem Kardiovaskular
Volume darah yang normal yang diperlukan
plasenta dan pembuluh darah uterin meningkat selama kehamilan. Diuresis terjadi
akibat adanya penurunan hormon estrogen yang dengan cepat mengurangi volume
plasma menjadi normal kembali. Meskipun kadar estrogen menurun selama nifas, namun
kadarnya masih tetap tinggi daripada normal. Plasma darah tidak banyak
mengandung cairan sehingga daya koagulasi meningkat.
Aliran ini terjadi dalam 2-4 jam setelah
kelahiran bayi. Selama masa ini ibu mengeluarkan banyak urin. Hilangnya
progesteron membantu mengurangi retensi cairan yang melekat dengan meningkatnya
vaskuler pada jaringan tersebut selama kehamilan bersama-sama dengan trauma
selama persalinan.
Kehilangan darah pada persalinan
pervaginam sekitar 300-400 cc, sedangkan kehilangan darah dengan persalinan
seksio menjadi 2x lipat. Perubahan yang terjadi terdiri dari volume darah dan
hemokonsentrasi. Pada persalinan per vaginam, hemokonsentrasi akan naik dan
pada persalinan seksio, hemokonstentrasi cenderung stabil dan kembali normal
setelah 4-6 minggu.
Pasca
melahirkan, shunt akan hilang dengan tiba-tiba. Volume darah ibu relatif
bertambah. Keadaan ini akan menimbulkan dekompensasi kordis pada penderita
vitum cordia. Hal ini dapat diatasi dengan mekanisme kompensasi dengan
timbulnya hemokonsentrasi sehingga volume darah kembali seperti semula. Pada
umumnya hal ini terjadi pada hari ke 3-5 post partum.
H. Perubahan Sistem Hemotologi
Pada minggu-minggu terakhir kehamilan,
kadar fibrinogen dan plasma serta faktor-faktor pembekuan darah meningkat. Pada
hari pertama post partum, kadar fibrinogen dan plasma akan sedikit menurun
tetapi darah lebih mengental dengan peningkatan viskositas sehingga
meningkatkan faktor pembekuan darah.
Leukosit hanya adalah meningkatnya jumlah
sel darah puth sebanyak 15.000 selama persalinan. Jumlah leukosit akan tetap
tinggi selama beberapa hari pertama masa post partum. Jumlah sel darah putih
akan meningkat selama beberapa hari masa pertama masa nifas. Jumlah sel darah
putih akan bisa naik lagi 25.000-30.000 tanpa adanya kondisi patologis jika
wanita tersebut mengalami persalinan lama.
Pada awal masa nifas, jumlah hemoglobin,
hematokrit dan eritrosit sangat bervariasi. Hal ini disebabkan oleh volume
darah, volume plasenta dan tingkat volume darah yang berubah-ubah. Tingkatan
ini dipengaruhi oleh status gizi dan hidarasi dari wanita tersebut. Jika
hematokrit pada hari kedua lebuh rendah dari titik 2% atau lebih tinggi
daripada saat memasuki persalinan awal, makan pasien dianggap telah kehilangan
darah yang cukup banyak. Titik 2% kurang lebih sama dengan kehilangan 500 ml
darah.
Penurunan volume dan peningkatan sel
darah pada kehamilan diasosiasikan dengan peningkatan hematokrit dan hemoglobin
pada hari ke 3-7 post pasrtum dan akan normal dalam 4-5 minggu post partum.
Jumlah kehilangan darah selama masa persalinan 200-500 ml, minggu pertama post
partum sekitar 500-800 ml dan selama sisa masa nifas berkisar 500 ml.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jadi, dapat disimpulkan bahwa setiap ibu nifas
mengalami beberapa perubahan fisologis. Perubahan tersebut diantaranya
perubahan sistem reproduksi, perubahan sistem pencernaan, perubahan sistem
perkemihan, perubahan sistem muskuloskeletal, perubahan sistem endokrin, perubahan
tanda-tanda vital, perubahan sistem kardiovaskular, dan perubahan sistem
hemotologi.
DAFTAR PUSTAKA
Nugroho, Taufan. dkk. (2014). Asuhan Kebidanan 3 Nifas, Nuha Medika, Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar